10/15/2005

Aku terlahir untukmu Mama-Papa,


Banda Aceh, 14 October 2005. 22:18 WIB

Sudah hampir hari ke enam aku jauh dari rumah. Tapi entah kenapa aku tidak pernah merasa jauh dari rumah. Ini adalah untuk pertama kalinya aku benar-benar jauh dari rumah. Tapi walau bagaimana pun, aku merindukan ibu ku. Menjadi anak yang mandiri. Tidak ada lagi yang bisa dimintai tolong untuk membuatkan aku susu sebelum tidur. Bahkan ketika aku pulang larut segelas susu pasti sudah siap didapur.

Tidak ada lagi adik perempuan ku untuk diajak bercanda dan tidak ada lagi kakak ku untuk menjadi teman berkelahi. Apalagi tidak ada lagi ayah ku yang selalu cerewet mengecek apakah aku sudah dirumah atau belum. Yah…cepat atau lambat aku akan jauh dari mereka semua. Inilah kenyataan hidup…

Aku sendiri masih bertanya pada diriku sendiri. Entah apa yang membawaku jauh keseberang lautan, ke Banda Aceh ini. Meskipun sudah banyak orang yang meperingatkanku bahwa gempa masih sering terjadi meski telah 9 bulan berlalu setelah tsunami pada Desember 2004. Sepertinya hati ini sudah memiliki ketetapan. Atau mungkin sudah digariskan Tuhan? Mungkin jawabannya adalah ya.

Satu minggu sebelum aku mendapat kepastian tentang keberangkatan ku, masih segar dalam ingatan ku. Aku berangkat menuju kantorku sebelumnya. Di angkutan kota yang kutumpangi pagi itu, naik lah seorang bapak setengah tua. Berpakaian lusuh, berjenggot lebat, dengan sandal jepit dikaki dan tak lupa peci tua yang menutupi kepalanya.

Tak lama kemudian ia mulai melantunkan bait-bait syair dalam bahasa yang tak kumengerti. Dengan merdunya, aku dapat menangkap bahwa syair-syair itu menceritakan tentang sebuah keindahan alam. Dan diakhir cerita ia baru mempekenalkan dirinya, bahwa dia adalah seorang rantau dari Aceh dan bait syair tadi menceritakan tentang keindahan alam Aceh. Ah…seandainya aku dapat mengingat dari bagian mana bapak itu berasal, aku lupa tepatnya, mungkin Pidie atau dimanalah itu…

Pikiranku langsung melayang jauh, betapa indahnya Aceh. Walaupun tak pasti mungkin bapak tua itu menceritakan Aceh 2 tahun yang lalu. Atau mungkin saja 5, 8 atau mungkin 10 tahun yang lalu. Seluruh jagat raya ini tau bahwa keindahan itu telah digulung kedalam lautan hindia akhir tahun lalu.

Tapi herannya ketika kepastian itu datang seminggu setelahnya. Aku tak gentar sedikit pun. Tekad ku bulat untuk menuju tanah rencong ini. Seperti besi yang tertarik magnit, aku terus melaju. Meski saat itu aku tahu pasti ayah ku tak memberikan izinnya, aku sudah merencanakan akan tetap pergi.

Akhirnya ayahku memberikan izinnya. Aku tahu berat baginya untuk melepaskan aku. Bahkan ia tetap berusaha membujuk aku melalui seorang sahabat ku agar tetap tinggal dan bekerja di Jakarta. Lucunya lagi…satu jam sebelum keberangkatan ku di airport, setiap 10 menit ia selalu menghubungi ku lewat telepon genggam ku. Belum lagi dengan sms yang ia kirimkan setiap 5 menit…

Begitu pula dengan ibuku. Aku mencoba untuk tidak menitikan airmata. Berat memang. Apalagi aku mrasa kedekatan dengan Ibuku melebihi segalanya dimuka bumi ini. Seakan-akan tali pusat masih terhubung diantara perut ku dan ibuku persis ketika aku masih dikandungannya 22 tahun yang lalu. Aku tidak akan mengizinkan sehelai pun benang kesedihan menyentuh kulitnya.

Dengan segenap sisa-sisa tenaga yang kupunya siang itu aku tahan butir-butir kesedihan itu agar tetap didalam mata lelah ku ini. Karena aku tahu begitu aku menangis, seluruh dunia ini akan hancur dan ikut meratapi kesedihan ibuku.

Aku memang diberikan tuhan orang tua yang luar biasa hebat. Dan aku hanya ingin membahagiakan mereka. Sampai akhirnya mereka puas dan dapat tersenyum di hari tuanya kelak. Semoga semua ini tidak berlebihan…

Ingin rasanya terus bercerita tentang kehebatan orang tua ku. Tidak akan cukup berlembar-lebar kertas untuk menulisnya, tidak akan pernah cukup 365 hari untuk menuturkannya. Keterbukaan selalu menjadi bagian dari keluarga ku. Mungkin hanya kesedihan yang selalu ditutupi dari wajah orang tua ku. Mereka tidak ingin anak-anak mereka tahu ketika mereka bersedih. Mungkin setiap orang tua akan melakukan hal sama. Tapi buat ku, inilah kehebatan yang tak akan pernah hilang dari ingatanku.

Hingga akhirnya kami semua dewasa. Kami mulai bisa mencium setiap aroma kesedihan. Apalagi kesedihan ibu. Walaupun ia mencoba menutupi, aku masih bisa mengintip celah kepiluannya. Aku sebisa mungkin mnghiburnya, tanpa mencoba mengguruinya. Ah…Mama, seandainya engkau ada disini. Bersama ku malam ini, menemani bayi mu yang telah beranjak dewasa ini. Karena aku tahu, aku akan tetap menjadi bayi kecil mu. Yang masih ingin kau timang dan dimanja setiap waktu. Bahkan malam ini aku ingin sekali di nina-bobo kan oleh mu.

Huuuh… aku menangis. Apapun yang kulakukan bila ada kata-kata yang mengingatkan aku pada ibu ku aku pasti menangis. Aku yang mencoba sedingin es dan sekokoh besi ini tetap saja sosok yang begitu rapuh bila terngiang tentang Ibuku. Aku akui aku tidak akan bisa menjadi dewasa, aku akan tetap menjadi bayi mungil ibuku.

Tidak pernah terbayang 22 tahun yang lalu ketika ia meregang nyawa demi kelahiranku dimuka bumi ini. Mungkin juga tidak pernah terbayang oleh ibu ku, bayi merah nan mungil itu sekarang telah jauh darinya. Tak lagi dalam pelukannya. Seakan-akan tak lagi memerlukan kehadirannya.

Tapi teruntuk ibu ku melalui tulisanku ini, aku ingin kau tahu kalau tak pernah terlintas dipikiranku untuk tidak lagi memerlukan mu. Aku terlahir untuk kamu, mama. Mungkin itu alasan aku dilahirkan pada hari itu, hari yang didedikasikan untuk para Ibu, 22 Desember. Akulah hadiah Tuhan untuk ibu ku. Hadiah yang lebih cepat 1 minggu, di ulang tahun ketiga pernikahan orang tua ku. Aku akan selalu membutuhkan kasih sayang kalian, terutama ibu.

Ayahku, mungkin yang bisa kuingat selalu selain tawa dan canda kita. Tak jarang pula kami bertengkar. Hingga suatu saat dibulan suci, 3 tahun yang lalu, pertengkaran kecil kami diakhiri dengan aksi diam selama hampir 10 hari. Disitulah aku juga merasakan kesedihan yang luar biasa dari hati ibu ku. Ironisnya tak berapa lama setelahnya ayahku jatuh sakit. Aku meminta maaf pada Tuhan dan berjanji tidak akan mengulanginya lagi asalkan sakitnya disembuhkan. Aku tahu kesakitannya akan sangat menyiksanya. Ia tak pernah suka dengan bau klorin rumah sakit.

Akhirnya ayahku sembuh. Lega sekali rasanya. Tapi, terkadang pertengkaran itu masih sering terjadi karena kami selalu berbeda pandangan. Namun aku tidak mau mengulangi kesalahan itu lagi. Aku selalu melupakan keributan itu keesokan paginya. Ayah…aku ingin kau tahu bahwa aku selalu menyayangi mu, apapun keadaannya. Karena sekarang, setelah aku jauh darimu, aku tahu aku selalu jadi perhatian utama mu. Aku hanya ingin yang terbaik untuk mu Papa...

Mama…Papa…aku mencintai kalian. Aku ingin kalian tahu, kalau anak mu ditempat yang jauh dari kalian ini baik-baik saja. Aku selalu merindukan kalian. Ingatlah aku berjanji akan kembali lagi bersama kalian beberapa minggu lagi. Doa kalian akan selalu kuingat. Semoga doa kalian menjadi nyata, sehingga aku dapat membahagiakan kalian hingga kalian tua nanti. Terima kasih Tuhan, engkau telah menghadiahkan aku orang tua yang terhebat didunia ini. Dengarlah pintaku ini, berikanlah aku kekuatan agar setiap keringat dan airmata ku dapat membahagiakan mereka, kemarin, sekarang, esok dan selama-lamanya…


Dengan setulus cintaku untuk Mama-Papa,
H. A. Chaeruddin-Hj. Rina Ismajadewi

Dari anakmu tersayang, Ilham Ariawan
Banda Aceh, 15 October 2005
00:12 WIB

PS: Siapa pun yang pernah membaca tulisan ini. Ketahuilah kalau orang tua selalu ingin yang terbaik untuk anak-anaknya. Sayangilah mereka sepenuh hati kalian. Karena mereka menyangi kita. Meski itu berupa pertengkaran. Hapuslah kesedihan mereka. Karena kalian tak pernah tahu sampai kapan kalian dapat membahagiakan mereka. Lakukanlah yang terbaik untuk mereka. Semoga kalian merasakan apa yang aku rasakan malam ini…

2 Comments:

At 9:07 PM, Anonymous Anonymous said...

kamu beruntung memiliki orang tua seperti itu...
salam buat banda aceh, kota yang selalu kurindukan...

 
At 2:34 PM, Anonymous Anonymous said...

Ari, your story made us cried especially since your mom is here visiting us. We know that you will turn out to be a good son and your parents did a wonderful job raising you and your siblings. We really appreciate that you made the effort to see us while we visited Indonesia last month, your cousins really enjoyed spending time with you. We miss you and don't worry we want to make sure that your mom is safe and having a good time while in here.
Love your Aunt and family in USA.

 

Post a Comment

<< Home